Pustakaki: Iktiar Kecil Merawat Purwakarta
Menarik
sekali apa yang dibicarakan oleh Faisal Syahrizal dalam esainya yang
memenangkan OSEBI beberapa
tahun yang lalu. Saya lupa judulnya, tapi isinya sangat menggembirakan. Ia
menekankan pentingnya sinergi kerja antara pemerintah dan masyarakat dalam mengapresiasi sastra.
Menurut Faisal (yang saat itu masih SMA) Indonesia sedang dalam
permasalahan krisis dalam dunia literasi
dan memahami pentingnya membaca. Padahal dunia literasi berkaiterat dengan upaya membangun
karakter bangsa atau semacamnya.
Baginya juga Sastra bisa merefleksikan masyarakat yang
berempati, memiliki naluri kemanusiaan, dan peka terhadap permasalahan sosial
di sekitarnya.
Setahun yang lalu anda pasti ingat apa yang
dilakukan Puan Maharani dengan jargon Revolusi Mental-nya. Lalu apa yang
sekarang terjadi? Tidak ada yang memperhatikan. Tanpa membangun ghirah membaca, kita sama tahu hal-hal
semacam itu hanya akan menjadi jargon yang menggerus uang negara dan hanya akan
menjadi olok-olokan sesama makhluk luar angkasa.
“Hey... lihatlah
spesies-spesies Bumi itu. Mereka ingin maju tapi sehari-hari hanya membuat
seremoni pukul gong, gunting pita, dan membuat hymne-hymne yang payah.”
Masih menurut
Faisal, Jepang bisa dijadikan cermin dalam hal ini. Kemajuan
Jepang sangat didukung oleh kualitas sumber daya manusianya. Di sana industri
percetakan buku sangat baik dan menjanjikan. Tentu saja ini berimbas dari bagaimana kebutuhan
masyarakat Jepang akan bacaan. Di sana pun kita
mengenal istilah “Baca Berdiri” di toko-toko buku tanpa membeli. Entah apa yang dilakukan Jepang. Barangkali itu karena sistem pendidikan,
karakter budaya dan hukum yang memang cocok. Tapi yang jelas, itu semua tidak akan
terjadi jika ternyata sejak awal mereka
tidak membangun sendiri minat baca sebagai bagian keseharian mereka, kan?
Bangsa yang maju
dan beradab tidak terlepas dari kecintaan masyarakat pada budaya membaca dan
bersastra. Di mana, ilmu pengetahuan, kebudayaan, teknologi, dan progres
perjodohan akan terus berkembang dan mengalami kemajuan.
Tidak dapat
dipungkiri, perhatian yang besar itu pula yang harus dibuktikan serius oleh pemerintah. Tidak cukup sampai di situ. Masyarakat juga harus lebih giras dibanding
pemerintah untuk membangun semua elemen dalam rumah besar Indonesia kita ini. Agar ghirah membaca dapat terus hidup dan menular. Tidak terasing
oleh keadaan-keadaan yang yaaah kau
sendiri pasti tahu lah.
Buku-buku, para penulis, sudah cukup
banyak di kita, meskipun
tidak sebanyak di negara maju yang kita sebut tadi. Pemerintah juga sudah melakkukan
beberapa upaya dan akan terus kita perhatikan. Contohnya pengadaan Perpustakaan Daerah, persoalan
ruangnya lebih sering dipenuhi ibu-bapak bergosip kencang, itu lain hal.
Kita tetap perlu turun jalan, mengamati dan mengangkat kendala-kendala
kecil yang seringkali menjadi alasan kenapa membaca-menulis menjadi kegiataan
yang terlihat kuraang
asyik di masyarakat. Sudah bukan rahasia, menyalahkan pemerintah atas segala
hal akan menjadi kegiatan yang kontra produktif dan buang-buang energi.
Mari kita jadikan ruang-ruang
umum sebagai kamar baca dan tempat bertemu yang menyenangkan. Tempat yang mempertemukan satu dengan lainnya, entah buku, ataupun
teman baru dengan ketertarikan
yang sama: membaca.
Kawan-kawan dari Sanggar Sastra
Purwakarta mengajukan pustakaki;
sebuah perpustakaan jalanan yang melapak tiap Minggu pagi, 07:00 s/d 10:00, di
area ramai Purwakarta Car Free Day, Situ Buleud. Kami mengundang kawan-kawan ke
di Situ Buleud, untuk bersenang-senang, berbagi cerita, dan mendonasi atau
pinjam buku, bahkan saling menyalin unduhan film di lapak pustakaki.
Itu pun jika kami bisa bangun pagi seperti kemarin-kemarin. Wkwkw.
See you!
Komentar
Posting Komentar