Puisi Lagi Puisi Lagi*

Aku bertanya, tetapi pertanyaanku membentur jidat penyair-penyair salon, yang bersajak tentang anggur dan rembulan—Ws. Rendra

Tidak syak bahwa persoalan puisi adalah persoalan bahasa. Keindahan dalam kata-kata, atau jika ada yang cukup tidak manusiawi sehingga suka mengembalikan segala hal pada kamus kita bisa ambil pengertian puisi berikut: pu·i·si n 1 ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait; 2 gubahan dalam bahasa yg bentuknya dipilih dan ditata secara cermat sehingga mempertajam kesadaran orang akan pengalaman dan membangkitkan tanggapan khusus lewat penataan bunyi, irama, dan makna khusus; 3 sajak—dan masih panjang lagi. Saya bosan mengetiknya kembali.

Jadi ketika datang orang bertanya apa itu puisi, sebenarnya kita bisa menatap balik si penanya dan bertanya balik: kenapa tidak kamu download saja aplikasi KBBI?

Tapi jika pertanyaan itu ternyata tidak tuntas di sana, mari kita tandai beberapa hal dari KBBI yang kiranya bakal berguna dalam obrolan kita kali ini: 1. Bentuk, dan 2. Membangkitkan tanggapan khusus. Jika yang pertama bicara struktur lahiriah puisi, yang terakhir bicara tatanan batin puisi.

illustrasi dari salah satu scene dari film Dead Poet Society diambil dari sini


Beberapa kali aku terlibat obrolan dengan Rudi Aliruda dalam tema seperti ini. Dalam pembicaran apa itu puisi yang entah bagaimana bisa berkembang (atau menyusut?) menjadi mana yang paling penting ada dalam puisi aku dan Rudi Aliruda kerap berubah kesimpulan. Meski belakangan kami sudah mengalihkan topik pembicaraan pada hal yang lebih produktif, seperti bagaimana membangun peternakan sapi perah untuk membiayai proyek-proyek kesenian dan nirlaba kami.

Membicarakan mana yang lebih penting antara lahiriah puisi atau batin puisi, merupakan salah satu cara meretas pertanyaan apa itu puisi. Suatu kali kami sepakat bahwa yang paling penting adalah isi/ruh, tapi lain waktu kita percaya bahwa persoalan ini bisa menyesatkan para penyair menjadi pengkhotbah. Dan penyair, dalam kesepakatan kami yang lain mustinya tidak mengambil pekerjaan orang lain. Apalagi jika itu posisi agamawan.

Pada malam lain kami masih membicarakan hal yang sama dan kami sepakat bahwa form/bentuk/jasad jauh lebih penting. Tapi setelah kami sepakat dan bakal beranjak pulang pun, sambil menyalakan sepeda motornya Rudi bergumam dengan sebal “kalau sudah begitu. Apa bedanya penyair dengan pengrajin keramik? Setiap hari berusaha memoles-moles hal yang tampak saja.” Semua itu mirip dengan lelucon pseudo-sains seperti mana yang lebih dulu antara telur dan ayam.

Tapi ada pembicaran yang lebih keren di film Dead Poets Society. Si karakter Mr Kiepling (yang dimainkan dengan sangat brilian oleh Robin William) bilang:

“Kita tidak menulis atau membaca puisi sebab kedua hal itu adalah sesuatu yang cute. Kita melakukannya sebab kita adalah manusia. Dan kemanusiaan itu penuh dengan gairah. Pengobatan, hukum, bisnis, memang penting untuk mempertahankan kehidupan. Tetapi puisi, kecantikan, asmara, dan cinta berguna bagi kita untuk tetap hidup.”
Film ini menjadikan pembicaraan terkait puisi jauh lebih mudah. Kesimpulannya, pertanyaan apa itu puisi adalah sama belaka dengan pertanyaan, apa itu menjadi manusia?

Tapi jika pertanyaan ini mampir di telinga Rendra pada saat sajak-sajaknya dalam Potret Pembangunan itu ditulis, maka jawabannya kurang lebih sama,dan dapat kita temukan dalam pertanyaan sekaligus pernyataan berikut, apalah arti kesenian jika terpisah dari derita lingkungan.

Pertanyaan tentang apa itu puisi seharusnya memang selesai di kamus. Tapi kita sama tahu, berhenti mendefinisikan puisi sebatas itu hanya akan membuat kita tidak berbeda dari sekadar algojo kamus atau budak-budak akademi. Kalau kau seorang seniman, kau musti melepaskan diri dari semua temali pengertian yang tidak berakar dari dalam batinmu sendiri.

Inilah yang sebenarnya ingin disinggung. Menyiapkan batin penyair sebagai ladang kehidupan yang luas dan agung. Mengisi ladang tersebut dengan benih dari rupa-rupa jenis tumbuhan. Membiarkan akar-akarnya mencengkram jauh ke dalam tanah. Sehingga yang nantinya tumbuh, berbuah, dan turut hidup (dari puisi sampai cara hidup) di ladang tersebut adalah semua hal yang alami. Hidup di dalam, di luar, di samping dan semua kisaran di antara puisi-puisi dan kehidupan yang menggetarkan si penulis dan pembacanya. Menarik orang-orang di luar ke dalam dunia di mana kesenangan dan kesedihan, suka dan duka, benar dan salah, hidup dan mati, dirayakan sepuas-puasnya. Sehabis-habisnya. Saini K.M menulis:

Kalau kata-katamu sekedar kata-kata belaka
Tidak ada telinga bagi sajakmu, tak ada hati
Akan disentuhnya. Anak muda, melangkahlah
Bersama mereka di jalan-jalan raya sejarah
Siapapun yang  mengaku sebagai bagian dalam dunia puisi ini mestilah melangkah bersama masyarakat dan dunianya di jalan-jalan raya sejarah. Kalau tidak seperti itu, lantas untuk apa?
Hal ini sejalan dengan ungkapan Paz, dalam Suara Lain. Esai tersulit yang membuatku mual sampai sekarang. Tapi syukurnya di akhir buku tersebut aku pernah mencatat semacam bagan yang jika diurutkan kira-kira seperti ini: tatanan dunia modern sebagai pemborosan dan pengrusakan alam kolektif; kemudian, pentingnya membangun fraternity alias persaudaran; lalu puisi adalah the other voice/Suara Lain yang menggemakan nilai-nilai kemanusiaan. Dan yang terakhir sekaligus kesimpulan dangkal saya atas pembacaan tersebut: bagaimana puisi (mungkin) dapat menyelamatkan dunia kita yang kadang-kadang berasa kayak—maaf—tai.
Dari halaman rumah Kang Pikoy yang juga markas Sketsa Sore, bulan tampak bundar. Mengingatkanku pada larik Ws Rendra yang bersajak tentang anggur dan rembulan. Ingin sekali saya katakan hal ini pada Rudi, tapi kami musti pulang ke tempat masing-masing. Malam sudah larut. Jika dilanjutkan pembicaraan ini pasti akan panjang, dan tidak ada jaminan akan selesai. Tapi yang jelas, di saat yang sama tidak satupun di antara kami yang ingin berhenti menulis puisi atau bertanya-tanya tentang apa dan mana yang paling penting dalam hal-hal tersebut.

O me, O life of the questions of these recurring. Of the endless trains of the faithless.Of cities filled with the foolish.What good amid these, O me, O life?
—Walt Withman 

O saya, O hidup yang berpusar pada pertanyaan-pertanyaan berulang. Dari perjalanan tak berujung akan ketidak-setiaan. Dari kota yang berisi kebodohan. Apakah yang baik ditengah-tengah semua ini, O saya, O kehidupan?
—Walt Withman
oleh Ahmad Farid membaca, menulis, dan giat di @sanggarsastrapwk, @gusdurianpwk @pustakakipwk. 
*Tulisan ini meruapakan pengantar diskusi "Menulis Puisi" bersama Komuniitas Pena dan Lensa Purwakarta (KOPEL)

Komentar

Postingan Populer